Di antara bid`ah besar yang
mempurukan kaum muslimin kembali ke alam jahiliyah yang amat kelam adalah
bid`ah filsafat, ilmu kalam atau ilmu mantiq Yunani dalam memahami Islam. Philosophia itu sendiri berasal dari bahasa Greek (Yunani Kuno), yaitu
philos dan sophia. Philos artinya cinta; atau philia berarti persahabatan, kasih sayang, kesukaan pada, atau
keterikatan pada. Sophia berarti
hikmah (wisdom), kebaikan,
pengetahuan, keahlian, pengalaman praktis, dan intelegensi. Philosophia, menurut
al-Syahrastani (w. 548 H/1153 M), berarti mahabbah
al-hikmah (cinta pada kebijaksanaan), dan orangnya (faylasuf) disebut muhibb
al-hikmah (orang yang mencintai kebijaksanaan). Untuk mencapai Kebahagiaan menurut
mereka hanya bisa diraih melalui kebijaksanaan,
baik dengan mengetahui kebenaran maupun melaksanakan kebaikan.
Filsafat yang merupakan manhaj
orang-orang Yunani dalam berfikir dan merenung untuk mendapatkan kebenaran dan
kebaikan telah menipu sebagian kaum muslimin yang lemah iman dan jahil. Padahal
Islam sama sekali tidak membutuhkan ilmu filsafat, ilmu kalam atau mantiq dalam
memahami dan menerapkannya. Logika sehat ini telah menjadi aqidah yang sangat
dalam di kalangan kaum muslimin di masa sohabat, tabi`in dan tabi`ut tabi`in.
Mengapa Islam tak membutuhkan sama sekali ilmu filsafat, ilmu kalam atau
mantiq? Jawabnya dapat kita renungkan dari poin-poin berikut ini:
1. Islam yang termaktub dalam Al
Qur`an dan hadits-hadits Rosululloh saw sama sekali tidak memerintahkan atau
menganjurkan umatnya untuk memahami Islam melalui ilmu filsafat, ilmu kalam
atau logika. Bahkan banyak sekali ayat-ayat Al Qur`an dan hadits-hadits
Rosululloh saw yang membantah dan meluluhlantahkan logika-logika di luar wahyu
yang telah menjadi manhaj umumnya manusia di saat itu (masa jahiliyah yang
tersebar di seluruh bagian dunia seperti Persia, Romawi dan bangsa Arab).
Alloh Swt berfirman :
أَفَغَيْرَ اللَّهِ أَبْتَغِي حَكَمًا
وَهُوَ الَّذِي أَنْزَلَ إِلَيْكُمُ الْكِتَابَ مُفَصَّلا وَالَّذِينَ
آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْلَمُونَ أَنَّهُ مُنَزَّلٌ مِنْ رَبِّكَ بِالْحَقِّ
فَلا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ (١١٤)وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ صِدْقًا
وَعَدْلا لا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ (١١٥)وَإِنْ
تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الأرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنْ
يَتَّبِعُونَ إِلا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلا يَخْرُصُونَ (١١٦)إِنَّ رَبَّكَ هُوَ
أَعْلَمُ مَنْ يَضِلُّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ (١١٧)
Maka patutkah Aku
mencari hakim selain daripada Alloh, padahal Dialah yang telah menurunkan Kitab
(Al Quran) kepada kalian dengan terperinci? orang-orang yang telah kami
datangkan Kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Al Quran itu diturunkan
dari Rob kalian dengan sebenarnya. Maka janganlah kalian sekali-kali termasuk
orang yang ragu-ragu. Telah sempurnalah kalimat Rob kalian (yaitu Al-Quran)
sebagai kalimat yang benar dan adil. tidak ada yang dapat merobah-robah
kalimat-kalimat-Nya dan Dia lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Dan
jika kamu (Ya Rosululloh) menuruti kebanyakan orang-orang yang ada di muka bumi
ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Alloh. Mereka hanya mengikuti
persangkaan belaka, dan mereka hanyalah berdusta (terhadap Alloh). Sesungguhnya
Robmu, Dia-lah yang lebih mengetahui tentang orang yang tersesat dari jalan-Nya
dan dia lebih mengetahui tentang orang orang yang mendapat petunjuk. (Qs. Al An`am [6]: 114-117)
Ibnu Katsir rhm (Wafat: 774 H)
berkata tentang tafsir ayat ini :
“Firman
Alloh Swt (Telah sempurnalah kalimat Rob kalian/ yaitu Al Qur`an sebagai
kalimat yang benar dan adil) menurut Qotadah : benar tentang janji-janjiNya dan
adil tentang hukumNya. Artinya : Jujur dalam berbagai beritaNya dan adil dalam
berbagai perintah laranganNya. Setiap khobar yang disampaikanNya adalah
kebenaran yang tidak mengandung keraguan atau kegamangan. Setiap perintah yang
diberikanNya adalah keadilan yang tidak ada lagi tandingan selainNya. Setiap
yang dilaranganNya adalah kebatilan, karena Dia tidak melarang sesuatu kecuali
pasti mengandung mafsadah…”
Di bagian lain beliau menjelaskan :
“Alloh
swt mengkhabarkan (dalam ayat ini) tentang kondisi mayoritas manusia penghuni
bumi yang berada dalam kesesatan”. (Tafsir
Ibnu Katsir : 3/1351)
2. Kaum salafus solih (para ulama
yang hidup di 3 kurun terbaik umat Islam) sama sekali tidak mengenal ilmu kalam
apalagi untuk digunakan sebagai alat memahami kebenaran atau kebaikan hakiki.
Kita telah mengetahui dengan sangat
jelas bahwa Rosululloh saw telah memuji para salafus solih dengan gelar masa
terbaik, terbaik dalam agamanya, akhlaknya, dalam seluruh sifat-sifat
kemuliaan. Rosululloh saw bersabda:
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِى
يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِى يَلُوْنَهُمْ
“Sebaik-baik
manusia adalah di masaku, kemudian manusia-manusia satu masa setelah itu,
kemudian manusia-manusia satu masa lagi setelah itu…”
(Hr. Bukhori: 6429)
Bahkan Alloh Swt memerintahkan manusia
untuk mengikuti salafus solih (terutama para sohabat Nabi saw) dengan baik dan
mengukur semua kebenaran iman dan keberagamaan mereka dengan iman dan
keberagamaan para sohabat beliau saw.
وَالسَّابِقُونَ الأوَّلُونَ مِنَ
الْمُهَاجِرِينَ وَالأنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا
الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ (١٠٠)
Orang-orang yang
terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan
Ansor dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Alloh rido kepada
mereka dan merekapun rido kepada Alloh dan Alloh menyediakan bagi mereka
surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya, mereka kekal
di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.
(Qs. At Taubah [9]: 100)
فَإِنْ
آمَنُوا بِمِثْلِ مَا آمَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِنْ تَوَلَّوْا
فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللَّهُ وَهُوَ السَّمِيعُ
الْعَلِيمُ (١٣٧)
Jika mereka
beriman seperti apa-apa yang kalian (hai orang-orang yang beriman bersama
Rosululloh saw) telah imani, sungguh mereka telah mendapat hidayah; dan jika
mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam kesesatan. Alloh akan
memelihara kamu dari mereka. dan Dia-lah yang Maha mendengar lagi Maha
Mengetahui. (Qs. Al Baqoroh [2]: 137)
Alloh Swt juga telah menetapkan
bahwa berpaling dari cara berpikir dan beramal para sohabat Rosululloh saw
merupakan ciri kaum munafiqin.
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ
آمِنُوا كَمَا آمَنَ النَّاسُ قَالُوا أَنُؤْمِنُ كَمَا آمَنَ السُّفَهَاءُ أَلا إِنَّهُمْ
هُمُ السُّفَهَاءُ وَلَكِنْ لا يَعْلَمُونَ (٢٠)
Apabila dikatakan
kepada mereka: "Berimanlah kalian sebagaimana orang-orang itu (yaitu para
sohabat Nabi saw) beriman." mereka menjawab: "Kami harus beriman
sebagaimana orang-orang yang bodoh itu beriman?" Ingatlah, Sesungguhnya
merekalah orang-orang yang bodoh; tetapi mereka tidak tahu. (Qs. Al Baqoroh [2]: 20)
Akan tetapi sepanjang sejarah
kehidupan mereka, kita tidak pernah dapati mereka mengetahui ilmu kalam atau
menggunakannya dalam keilmuan dan keberagamaan mereka. Mereka sudah sangat
cukup cerdas dan mulya dengan apa yang mereka dapatkan dalam Al Qur`an dan
Sunnah Rosululloh saw. Mari kita simak beberapa perkataan mereka yang mulia, di
antaranya:
Abu Dzar rda berkata :
“Sesungguhnya Nabi saw telah
meninggalkan kita.. tidak ada seekor burungpun yang mengepakkan sayapnya di
atas langit, kecuali beliau saw sebutkan ilmu tentangnya”. (Hr. Imam Ahmad
dalam Musnadnya: 5/153)
Waktu seseorang bertanya kepada
Salman Al Farisi rda :
“Apakah nabi kalian mengajarkan
segala sesuatu sampai masalah beristinja?”
Beliau rda menjawab :
“Ya betul”. (Hr. Muslim: 262)
Imam Az Zuhri rhm berkata :
مِنَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ اَلرِّسَالَةُ
وَعَلَى الرَّسُوْلِ اَلْبَلاَغُ وَعَلَيْنَا اَلتَّسْلِيْمُ
“Dari
Alloh adalah risalah, kewajiban Rosululloh saw adalah menyampaikan. Sedangkan
kewajiban kita adalah taslim (menerima total dan utuh)”. (Hr. Bukhori: 46)
Ilmu kalam dilahirkan oleh logika
dan mantiq orang-orang musyrik yang sama sekali tidak beriman kepada Alloh Swt.
Ilmu kalam, filsafat atau mantiq merupakan aturan logika yang dilahirkan oleh
para filosof Yunani (plato, aristoteles dengan teori filsafatnya masing-masing).
Mereka adalah masyarakat paganisme (musyrikin) yang tidak sama sekali mengenal
ajaran para nabi dan rosul.
Pantaskah logika kaum
musyrikin kafir dijadikan manhaj atau metode berpikir dan menerapkan Islam yang
benar?
Syihristani rhm berkata
:
“awal syubhat yang
terjadi pada makhluk adalah syubhat Iblis (semoga Alloh melaknatnya). Sumber
Iblis adalah melampaui batas dalam ro`yu (pandangan-pandangan logika) untuk
menentang nash dan upayanya lebih memilih hawa untuk menentang perintah Alloh
serta kesombongannya dengan bahan mentah asal pencptaanya, yaitu api
dibandingkan bahan mentah asal penciptaan Adam, yaitu tanah”. (Al Milal wa An
Nihal: 1/16)
Bencana filsafat, ilmu
kalam atau logika yunani ini sebenarnya dibawa ke dalam tubuh umat Islam telah
dimulai sejak masa Dinasti Umayyah (40-132 H/661-750 M) tepatnya pada
masa pemerintahan Khalid Bin Yazid Bin Muawiyah (wafat thn 85 H/704 M)
sebagaimana dipertegas oleh Ibn An Nadim dan Al Jahizh. (lihat: al fihrist
karya Ibn An nadim, Hal: 242 dan rasa’il jahiz karya al jahiz, Hal: 93).
Akan tetapi titik terparah
pengaruh Yunani ini terjadi pada masa kejayaan Daulah Abbasiyah pada masa al
Ma’mun dimana pada tahun 830 H membangun Bayt
al Hikmah (rumah kebijaksanaan), sebuah perpustakaan, akademi, sekaligus
biro penerjemah, yang dalam berbagai hal merupakan lembaga pendidikan paling
penting sejak berdirinya museum Iskandariyah pada paruh pertama abad ke-3 S.M.
Era Penerjemahan pada masa Dinasti Abbasiyah
berlangsung selama satu abad yang telah dimulai sejak 750 M. Karena kebanyakan
penerjemah adalah orang yang berbahasa Aramik, maka berbagai karya Yunani
pertama kali diterjemahkan ke dalam bahasa Aramik (Suriah) sebelum akhirnya
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Salah satu penerjemah pertama dari
bahasa Yunani adalah Abu Yahya ibn al Bathriq yang dikenal karena menerjemahkan
karya-karya Galen dan Hippocrates untuk al Mansur, dan karya Ptolemius untuk
khalifah lainnya. Penerjemah awal lainnya adalah seorang Suriah Kristen,
Yuhanna (Yahya) ibn Maskawayh, murid Jibril bin Bakhtisyu, dan guru Hunayn ibn
Ishaq yang diriwayatkan telah menerjemahkan beberapa manuskrip untuk al Rasyid,
terutama manuskrip tentang kedokteran yang dibawa khalifah dari Ankara dan
Amorium.
Hunayn ibn Ishaq disebut-sebut
sebagai “ketua para penerjemah”, seorang sarjana terbesar dan figur terhormat
pada masanya. Hunayn adalah penganut sekte ibadi,
yaitu pemeluk Kristen Nestor dari Hirah. Dalam faktanya, Hunayn memang
telah menerjemahkan naskah berbahasa Yunani ke dalam bahasa Suriah, dan
rekan-rekannya melakukan langkah berikutnya, yaitu menerjemahkan ke dalam
bahasa Arab. Hermeneutica karya
Ariestoteles, misalnya, diterjemahkan pertama kali ke dalam bahasa Suriah oleh
ayahnya, untuk selanjutnya diterjemahkannya kembali ke dalam bahasa Arab.
Seperti halnya Hunayn yang mengambil
posisi terdepan dalam kelompok penerjemah dari penganut Kristen Nestor, Tsabit
ibn Qurrah juga berada pada barisan pertama kelompok penerjemah lainnya yang
direkrut dari orang Saba, penyembah berhala dari Harran. Prestasi besar Tsabit
dilanjutkan oleh anaknya Sinan serta dua cucunya Tsabit dan Ibrahim, kemudian
anak cucunya Abu al Faraj. Seluruh orang-orang tersebut dikenal sebagai
penerjemah dan ilmuan.
Dari sini tampak jelas di hadapan
kita bahwa orang-orang yang andil dalam dunia filsafat pada mulanya adalah kaum
nasrani yang kafir serta kaum zindiq. Tak ada satu ulama pun di kalangan para
tabi`in, maupun tabi`ut tabi`in apalagi di kalangan para sohabat yang
menyebut-nyebutnya apalagi menggunakannya dalam memahami dan melaksanakan
Islam. Bahkan banyak sekali riwayat yang menyatakan bahwa para ulama di saat
itu sangat menentang penggunaan filsafat, ilmu kalam atau mantiq dalam memahami
Islam.
5. Perlu diingat dengan sangat tegas
bahwa saat seorang muslim lari dari jalan Al Qur`an, as Sunnah dan pemahaman
salafus solih ternyata yang lahir setelah itu adalah
kumpulan kegelisahan, kegamangan dan kebingungan. Kebingungan orang-orang
berotak cerdas. Al Juwainy adalah salah satu contohnya. Anda mungkin tahu bahwa
cendekiwan satu ini sangat dikagumi kecerdasannya, sehingga di zamannya ia
diberi predikat Imam al Haramain (imam
dua negri suci, Mekkah dan Madinah). Jiwanya gelisah dalam
perdebatan-perdebatan filsafat itu. Meskipun ia dapat dikatakan telah sampai
pada puncak kepakaran dalam banyak disiplin ilmu. Tapi tetap saja gelisah.
Kegelisahan yang akhirnya melahirkan penyesalan mendalam. Di penghujung
hayatnya, ia pernah berucap dengan tegas pada murid-muridnya : “Wahai sahabat-sahabatku, jangan sekali-kali
kalian menyibukkan diri dengan ilmu Kalam, andai saja dahulu aku mengetahui
bahwa ilmu ini hanya akan membawaku pada keadaan sekarang ini, sungguh aku tak
akan mempelajarinya.”
Sang cendekiawan ini kemudian
meninggal dengan dada yang disesaki oleh penyesalan. Salah satu ucapannya yang
sempat tercatat saat itu adalah “Sungguh
aku telah tenggelam dalam laut yang mengombang-ambingkan, kutinggalkan
ilmu-ilmu kaum muslimin yang sesungguhnya, lalu aku masuk mempelajari apa yang
telah mereka larang. Dan sekarang, duhai, jika saja Allah tidak menolongku
dengan rahmatNya, maka kebinasaanlah untuk putra Al Juwainy ini. Inilah aku,
aku mati dengan meyakini agama orang-orang badui.”
Al Ghazaly –semoga Allah
mengampuni kita dan beliau- adalah contoh lain dalam masalah ini. Siapa
gerangan yang tak mengenal sang hujjatul
Islam ini. Perjalanan panjang dan kesungguhannya yang kuat mengantarkan ia
menjadi seorang ulama yang dikenal sangat cerdas (meskipun cerdas saja tak
cukup). Tapi siapa yang mengira bahwa dengan karya sepopuler Ihya’ ‘Ulumuddin ternyata ia juga
terjebak dalam kegelisahan dan kebingungan. Hal itu kemudian mendorongnya
menulis sebuah buku yang mengingatkan orang untuk tidak mengikuti jejaknya
mempelajari ilmu Kalam. Buku itu berjudul Iljaam
Al ‘Awaam ‘an ‘ilmil Kalam.
Ibnu Rusyd al-Hafiid (Muhamad ibn
Ahmad ibn Rusyd al-Andalusi. Wafat tahun 595 H). Dia telah mendalami dan
menyibukan dirinya dengan ilmu kalam sampai dia menjadi orang yang paling
piawai dalam manhaj filsafat dan pandangan-pandangan para tokohnya. Akan tetapi
pada akhirnya dia menolak bahkan mendebat serta membantah manhaj ini setelah
jelas kesalahan dan kerusakannya. Di antara kitab terbaiknya dalam hal itu
adalah (Al-Kasyf ‘an Manahijil Adillah
fii ‘Aqoidil Millah). Dia kembali meniti manhaj al-qur’an dan banyak
mengkritisi madrasah-madrasah ilmu kalam. Dan dia mengatakan di dalam kitabnya
(tahafutut tahafut): Apakah masih
dianggap orang yang hanya pandai berbicara tentang ilahiyah?
Begitu juga Abu Abdillah Muhammad
ibn Umar Ar-Rozy, dia bersyair dalam kitabnya (Aqsamulladzat):
Akhir
langkah logika adalah kekacauan.
dan
penghujung usaha dunia adalah kesesatan.
Ruh-ruh
yang berada di jasad selalu galau…
Hasil
dunia hanyalah kepedihan dan bencana.
Kami
tidak mendapatkan faidah dari pembahasan sepanjang usia, kecuali kumpulan
katanya begini dan begitu.
Berapa
banyak kami melihat seorang rijal dan sebuah negri, maka tampaklah semuanya
lenyap dan sirna.
Berapa
banyak gunung yang menjulang kemuliaannya, saat seorang rijal telah sirna
tetapi gunung tetaplah gunung
Kemudian dia berkata: Aku telah
memperhatikan manhaj kalam dan filsafat, maka kulihat hal itu tidak dapat
menyembuhkan penyakit dan tidak dapat menghilangkan dahaga. Kemudian akupun
melihat bahwa jalan yang paling benar adalah jalan al-Qur’an. Di dalam itsbat (penetapan sifat Alloh) aku
membaca firmanNya:
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى (٥)
Alloh yang Maha Pemurah yang
bersemayam di atas 'Arsy (Thoha:5)
إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ
Kepada-Nyalah naik
perkataan-perkataan yang baik (Fatir:10)
Dan di dalam nafyi (peniadaan sifat bagi Alloh) akupun membaca firmanNya:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ
Tidak ada sesuatupun yang serupa
dengan Dia (Assyuro:11)
وَلا يُحِيطُونَ بِهِ عِلْمًا
Sedang ilmu mereka tidak dapat
meliputi ilmu-Nya. (Thoha:110)
Kemudian dia berkata: barangsiapa
yang bereksperimen seperti eksperimenku, niscaya dia akan tahu seperti yang aku
ketahui sekarang (kebingungan dan penyesalan).
Syekh Abu Abdillah Muhammad bin Abdul
Karim As-Sihrisytani yang wafat tahun 548 H, pun telah berkata: Tidak ada
seorangpun yang mendalami falsafat dan ilmu kalam kecuali datang kebingungan
dan penyesalan, kemudian dia bersyair:
Aku
telah mengelilingi berbagai universitas sepanjang umurku,
Akupun
telah menempuh berbagai lembaga-lembaga ilmiyah, tapi aku tidak pernah melihat
kecuali orang yang meletakan tangannya di bawah dagu karena bingung kemudian
menyesal.
Dan dikatakan pula bahwa Imam
Zamakhsyari yang wafat tahun 537 H, pada akhir hayatnya bertaubat dari
pemahaman mu’tazilah. Dari sebagian syairnya yang indah tentang masalah ini
adalah:
Wahai Dzat yang melihat sayap nyamuk
pada gelam malam. Dan melihat urat yang menempel pada lehernya juga sum-sum
yang ada pada tulang lebah. Anugrahkanlah padaku ampunan yang akan menghapuskan
dosa-dosaku pada zaman dahulu.
Semua ulama salafus solih sangat
mencela ilmu kalam dan banyak sekali mengingatkan besarnya bahaya akibat
mempelajari dan menyebarnya ilmu kalam. Marilah kita simak beberapa perkataan mereka:
Abu Hanifah rhm pernah ditanya: “apa pendapat anda tentang hal-hal baru yang
diperbincangkan orang tentang `ard dan jism?” Beliau rhm menjawab: “Semua itu adalah makalah-makalah filsafat.
Berpegang teguhlah anda dengan atsar dan metode salaf. Waspadalah setiap konsep
baru, karena semua itu adalah bid`ah”. (Al Hujjah fi Bayanil Mahajjah: 8 serta Sounul Mantiq: 32).
Abdurrohman bin Mahdi rhm bercerita:
Aku pernah menemui Malik di mana saat itu ada seorang laki-laki yang bertanya
kepadanya tentang Al Qur`an. Beliau rhm berkata: “Anda pengikut `Amr bin `Ubaid? Alloh melaknat `Amr, karena membuat-buat
bid`ah ilmu kalam. Seandainya ilmu kalam itu ilmu, niscaya seluruh sohabat Nabi
saw tabi`in menggunakannya dalam ilmu-ilmu hukum dan syari`at-syari`at mereka.
Sesungguhnya ilmu kalam itu batil yang menunjukan kebatilan”. (Dzammul Kalam: 294)
Abu Yusuf (Ya`qub bin Ibrohim al
Qodhi. Wafat: 183 H) berkata:
“Barangsiapa
mencari agama dengan ilmu kalam, pasti dia zindiq. Barangsiapa yang mencari
makna-makna gorib hadits, pasti dia berdusta. Barangsiapa yang mencari harta
dengan kimia (sulap), pasti dia bangkrut”. (Dzammul Kalam: 326)
Sehingga Al Imam Syafi'i mengatakan:
'Hukuman terhadap ulama ilmu kalam ialah
mereka ini dipukul dengan pelepah kurma dan kemudian dikelilingkan di berbagai
kampung dan kabilah untuk dinyatakan di hadapan mereka: Inilah balasan bagi
orang yang meninggalkan Al Kitab dan As Sunnah dan terjun dalam ilmu kalam.'
(Hr. al-Harowi dalam kitab Dzammul
Kalam: 356)
Berkata Al Imam Ahmad bin Hambal: “Ulama ilmu kalam itu adalah para zindiq
(yakni orang-orang yang menyembunyikan di hatinya kekafiran, tetapi menampakkan
keimanan)." (Talbis Iblis: 83)
keimanan)." (Talbis Iblis: 83)
Imam al Barbahari (Muhammad Al Hasan
bin Ali bin Kholf. Wafat: 329 H) rhm berkata:
“Ketahuilah…
Tidak ada kezindiqan, kekufuran, keragu-raguan, kebid`ahan, kesesatan dan
kebingungan dalam agama kecuali disebabkan ilmu kalam, ahli kalam, perdebatan
dan peseteruan”. (Syarh as Sunnah:
38)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar